![]() |
Kutipan Romo Mangun |
Tulisan ini dikhususkan untuk perayaan warisan-warisan seorang romo yang luar biasa. Siapakah dia? Beliau adalah Romo Mangun dengan nama lengkapnya, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Beliau lahir di Ambarawa sebuah kabupaten kecil terletak perbatasan langsung dari Salatiga, Ungaran, dan Semarang. Kala itu masih menjadi wilayah kekuasaan Belanda yang disebut sebagai Hindia Belanda pada tahun 1929 dan sekarang termasuk wilayah Republik Indonesia sebagai provinsi Jawa Tengah. Beliau merupakan aktivis sosial, sastrawan, imam Katolik Roma, arsitek, dan penulis.
Romo Mangun tidak hanya seorang pastor atau romo yang sangat melekat pada komunitas umat Katolik Roma yang di bawah Kepausan Vatikan, tetapi sosok individual yang merakyat dan pemikir visioner. Beliau ditahbiskan menjadi romo pada tahun 1959 oleh Uskup Albertus Seogijapranata. Bapak Uskup itu kelak menjadi pahlawan nasional berkat motto paling terkenal pada saat itu "100% Katolik 100% Indonesia" dan keberhasilannya menyakinkan Vatikan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 6 Juli 1947. Beliau yang menahbiskan Romo Mangun tidak lama menjadi romo paling berani pernah ada, khususnya pada era Orde Baru yang dikenal dengan otoriter, represif, dan absolut.
Aktivitas Romo Mangun bisa dibilang sangat ekstrem masa itu karena tindakan pemerintah Orde Baru semakin represif dan otoriter sehingga membatasi ruang demokrasi rakyat untuk menyalurkan aspirasi. Keterlibatan Romo Mangun di Kali Code dan Waduk Kedung Ombo menjadi salah satu penting mengapa Romo Mangun merupakan sosok yang sentral terhadap kemanusiaan dan demokrasi. Romo Mangun mengubah wajah Kali Code menjadi tempat yang layak dan bersih dengan pendekatan arsitektur ala Romo Mangun, yaitu citra dan guna padahal Kali Code terancam dibongkar oleh pemerintah DIY. Beliau juga memprotes bersama rakyat yang terdampak pada pembangunan Waduk Kedung Ombo yang menerima ganti rugi yang sangat tidak adil dan mengalami tindak kekerasan aparat pemerintah. Romo Mangun kerap selalu mengkritik pada pemerintah Orde Baru. Soeharto masa itu menyindir beliau bahwa menjadi romo tidak seharusnya menghasut rakyat dan menjulukinya sebagai "Komunis berbaju rohaniawan".
Selain aktivisme, Romo Mangun juga menulis banyak novel populer, seperti Burung-Burung Rantau, Burung-Burung Manyar, Rara Mendut, Durga Umayi, dan banyak lagi. Novel-novel ini merupakan buah pemikiran yang kritis, tajam, revolusioner, dan kontroversi mengenai kehidupan manusia dan juga negara. Romo Mangun juga menjadi guru dengan mengajari anak-anak kurang mampu di sebuah sekolah terletak di Kalasan, Sleman, yang sekarang menjadi Sekolah Eksperimental Mangunan (SEM) yang di bawah Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (YDED) dengan menggunakan kurikulum Romo Mangun dengan pendekatan humanis dan mengutamakan anak sebagai pusat pembelajaran.
Salah satu kepedulian Romo Mangun terhadap masyarakat kecil, yaitu Romo Mangun pernah meminta izin kepada Keuskupan agar dapat tinggal di pemukiman warga dan tidak tinggal di pastoran seperti romo-romo lainnya. Romo Mangun menghabiskan seluruh hidupnya di Gang Kuwera, Gejayan, Yogyakarta menjadi tempat tinggal Romo Mangun dan sekarang menjadi kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Romo Mangun juga selalu menyendiri di Pantai Grigak dengan menulis banyak buku dan berkarya. Romo Mangun juga membantu masyarakat Pantai Grigak agar lebih mudah mencari sumber air.
Romo Mangun telah berpulang ke rumah Bapa tahun 1999, tetapi warisan dan perjuangan Romo Mangun masih dilanjutkan oleh penerusnya, komunitas, dan maupun orang-orang yang pernah dekat dengan Romo Mangun. Barang-barang milik Romo Mangun disimpan di Meseum Misi Muntilan, kantor Dinamika Edukasi Dasar, maupun Sekolah Eksperimental Mangunan kecuali buku-buku karya Romo Mangun dijual secara bebas di publik. Makam Romo Mangun terletak di belakang Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta, dimana beliau ditahbiskan menjadi romo.
Penulis secara personal bukan penganut Katolik Roma, tetapi penganut Ortodoks Timur mengagumi sosok Romo Mangun karena beliau adalah sosok pemikir radikal, revolusioner, dan visioner terhadap kemanusiaan, demokrasi, dan pendidikan. Beliau adalah sosok yang langka karena tidak ada orang yang memiliki kesamaan dengan beliau. Romo Mangun menjadi tokoh nasional yang populer di Indonesia bersamaan Gus Dur. Meski mengagumi sosok Romo Mangun, penulis tetap mengagumi para romo atau presibter Gereja Ortodoks Timur meskipun romo Katolik Roma dan Ortodoks Timur memiliki perbedaan dalam hal tugas, pelayanan, dan peran sesuai dengan aturan Keuskupan mereka masing-masing. Namun, mereka memiliki persamaan, yaitu sama-sama belajar di seminari dan ditahbiskan menjadi romo oleh uskup. Mereka juga melayani umatnya sesuai tugas dan peran sebagai romo, yaitu memimpin di Gereja baik Katolik Roma maupun Ortodoks Timur dan bertanggungjawab pada paroki yang dipimpinnya.
Penulis berharap cita-cita, inspirasi, dan perjuangan Romo Mangun dapat dilanjutkan oleh para generasi muda-mudi agar dapat mewujudkan impian Romo Mangun terhadap bangsa Indonesia serta cita-cita para pendiri bangsa.
Terimakasih, Romo Mangun! Mari lanjutkan perjuangan Romo Mangun!
Comments
Post a Comment